Rumah.

Di mana rumahmu?” tanya anak itu pada saya saat kami tergesa menyusur setapak.
Rumah? Di sini salah satu rumahku,” sahut saya.
Oh, berarti ada yang lain ya. Dimana?” tanyanya lagi.
“Keluargaku juga rumahku,” kata saya.
Ada lagi selain itu?”

Rumah.
Rumah bagi saya adalah orang-orang atau tempat-tempat yang saya ingin kembali lagi dan lagi. Dimana saya berucap syukur -untuk kesekian kalinya atas izin Sang Pemilik- ketika dapat dipertemukan kembali dengan orang-orang atau dapat menapakkan kaki lagi di tempat tersebut. Kenyaman dan ketenangan adalah dua kondisi perasaan yang saya temukan ketika berada di rumah. Dua rasa, nyaman dan tenang, mungkin inilah sebabnya kata rumah berkerabat dekat dengan kata cinta. Sedang mencintai menurut hemat saya adalah menumbuhkan, menjaga, kemudian mengajak orang-orang yang kita sayangi untuk berusaha bersama menetapi apa yang terbaik menurut-Nya. Betul, yang terbaik menurut-Nya, bukan lagi yang terbaik menurut saya.
Dari masih pendeknya perjalanan yang saya tempuh di bumi, merekalah rumah saya; Bapak, ibu, dan Ratri.
Jangan salahkan aku Rat, kalau membuatmu kesal dengan menggelitiki telapak kakimu, usil menyeret selimutmu saat adzan subuh telah berkumandang tapi kau masih menggeliat di kasurmu. Itu aku lakukan karena aku mencintaimu. Toh kau juga sangat menyebalkan pernah mengganggu tidur siangku. Tapi terimakasih, kau begitu karena tak mau aku melewatkan dhuhurku bukan?;)
Kemudian Pakeh, satu desa yang saya pernah sebentar tinggal disana setahun lalu. Dengan dua orang terdekat yang sudah seperti ibu dan kakak saya sendiri, yakni Makdah dan Mbok Tik, begitu saya biasa memanggil beliau berdua. Sampai bertemu akhir minggu ini ya Makdah, Mbok Tik, InsyaAllah.
Itu dua rumah utama saya. Sedang mencoba berjalan lebih jauh, siapa tahu saya dapat menemukan rumah lain lagi di depan sana 🙂
Masih tentang rumah.
Satu lagi. Rumah yang saya belum pernah menapakkan kaki di sana. Rumah dimana saya berharap disana akan dikumpulkan bersama orang-orang yang saya sayangi. Rumah yang baru hanya bisa saya bayangkan dari apa yang tertulis di buku-buku, penggambarannya tergores pada kitab.
Dikatakan bahwa di rumah ini mengalir di bawahnya sungai-sungai. Penghuni rumah ini memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal duduk-duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah.
Dikatakan juga bahwa rumah ini bertempat di atas langit ke tujuh, dekat Sidratul Muntaha.
‘Rumah’ tempat kembali dengan tiada pembanding, yang membuat Asiyah bertahan atas kezaliman Firaun.
Adalah satu siang dengan sinar mentari yang menyengat ketika Asiyah diikat sebanyak 4 ikatan pada kedua tangan dan kakinya pada tiang-tiang yang dipatok ke tanah. Suaminya berlaku seperti itu berharap agar keimanan sang istri kembali padanya. Apa yang terjadi? Asiyah memegang teguh keyakinan pada Allah. Dalam penyiksaan oleh Fira’aun, Asiyah berdoa agar dibuatkan rumah di sisi-Nya, dan diselamatkan dari kekejaman Fir’aun dan dari kaum yang zalim. Allah dengan kekuasaan-Nya memperlihatkan tempat tinggal wanita ini di surga. Bertahanlah Asiyah. Ketika algojo suruhan Fir’aun kembali menanyakan bagaimana keimanannya, Asiyah menjawab tetap pada pendiriannya. Kemudian sesuai perintah Fir’aun, bila Asiyah tidak juga mengubah iman menjadi padanya maka algojo diperintahkan untuk memukulkan batu ke kepala wanita ini. Selesai dia menjawab, algojo mengangkat batu bersiap-siap memukulkannya ke kepala Asiyah. Namun pertolongan Allah mendahului siksaan algojo. Allah memerintahkan malaikat Izrail mencabut nyawa Asiyah, sesaat sebelum batu besar dipukulkan ke kepalanya.
Asiyah, salah satu dari empat wanita utama penghuni surga. Wanita ini mendapatkan tempat di sisi Allah, di ‘rumah’ tempat segala amal baik dibalas. Rumah dengan pesona yang dahsyat;)
Ehm, sesungguhnya kita semua dalam perjalanan pulang ke ‘rumah’ bukan?
Pada beberapa kesempatan dalam perjalanan pulang ini kita bertemu orang-orang, kemudian bersama berjalan. Jalanan ini sungguhlah luas sehingga satu dua urusan membuat orang berjalan berdua-dua, berkelompok, pun ada yang sendiri memisahkan diri, memilih jalan lain memutar, mengambil jalan ke sebelah kanan atau kiri, menurut pada prioritas masing-masing. Bertebaran di muka bumi. Meski mengambil jalan yang berbeda, tapi tetap, tujuan kita sama bukan?
Kadang spekulasi-spekulasi buah pikiran membuat kita merasa sedang berjalan sendiri. Tetapi Ya Rabb, sejatinya kita tak pernah sendiri bukan? Maafkan makhlukmu yang berpikir demikian Ya Rabb. Seperti pagi ini ketika mendapati ada yang tidak beres dengan hati.
Alasan yang sepele saja. Hanya karena berharap terlalu berlebih pada sesi melingkar kemarin. Ingin bertanya, mengajak berbagi, tapi kemudian kecewa karena tidak seperti yang diharapkan. Tentu hal seperti ini sudah menjadi urusan yang diatur oleh-Mu. Setiap orang pastilah memiliki prioritas masing-masing yang begitu mendesak. Jadi siapa saya mau mempermasalahkan hal tersebut? Agaknya dari hal ini saya dibuat belajar lagi; untuk selalu memperbaiki niat dan berharap hanya pada-Mu.
Dari ketidakberesan rasa tadi, saya coba berkirim pesan pada seorang kawan. Lalu dia pagi ini menjadi ‘perpanjangan tangan-Mu’, memahamkan satu hal yang sudah dituliskan oleh-Mu.
“Reni lagi di deket-deket Qur’an ngga Ren. Aku tunjukin satu ayat yang ruaaar biasa. Oke sip Al Baqarah ayat 38 ya Ren. Coba kita baca bareng-bareng. Ada yang agak ‘janggal’ ya pilihan katanya. Kan Gusti Allah ngendika: maka barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.
Nah itu Reni. Kira-kira Allah lagi bicara sama siapa itu. Kalo Reni buka terjemahan per-ayat, Reni bakal tahu kalo faman tabi’a (barang siapa mengikuti/ beriman/ taat) disana me-refer ke satu orang Ren. Personal. Gusti Allah mau ngendika ke kita aja sendiri.
Lho padahal kan abis itu Allah ngendika: khoufun ‘alaihim ya Ren. Yang artinya rasa takut atas MEREKA. Aneh ya Ren, kok ngga dari awal aja Allah ngendika: Maka mereka yang ikut petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka, dst. Eh malah ngendika: Maka SIAPA YANG (personal individu) ikut petunjuk-KU, dst.
Tau ga Reen, ternyata kenapa Allah bilang begitu ya Ren, karena Allah itu tahu kalo kita pada suatu saat tertentu bisa jadi memang akan sendirian Reen. Jadi Allah secara personal berbicara sama kita: faman tabi’a. Diperintahkan secara personal individu, kepada kita, mengikuti petunjuk Allah. Apapun keadaannya.
Percayalah ren, di luar sana mungkin ada saudara kita yang lagi co-ass di timor leste atau manapun. Sendirian. Tapi lagi-lagi: faman tabi’a. Biarpun sendirian, dia tetep yakin sama Allah. Sama pertolongan dan petunjuk Allah. Yakin ngga masalah walaupun sendirian, It’s oke. Dia yakin nanti Allah siapkan satu kompi barisan temen-temen yang sama-sama baris di jalan Allah jadi ngga sendirian lagi.”
Kemudian teringat pada kisah Asiyah, yang lalu saya selipkan di atas. Anak ini  juga mengingatkan tentang perang Uhud dimana pasukan yang meski sedikit tetap dibagi dua oleh Rasul, pasukan bukit dan pasukan berkuda, sehingga satu dapat membantu yang lain, saling mengawasi dari kejauhan. Dua contoh yang cukup menjadi pelajaran.
Membacanya kemudian membuat hati kembali nyaman, tenang.
Tapi pada dasarnya kita memang tidak pernah benar-benar sendiri,
Gusti mboten sare. 
Baiklah, kali ini saya sedang dalam perjalanan pulang. Mau seperti apakah perjalanan ini saya isi dan bagaimana juga ke depannya? Berbuat selagi bisa dan saya tulis saja sembari menunggu kejutan kejutan.

Semangat yuk ah! Hoho.

Oya satu lagi. Ini untukmu sang pemilik tulang rusuk -yang aku masih belum tahu siapa-, aku berdoa agar nanti saat berjalan bersamamu, kemanapun itu, aku bisa merasakan bahwa ‘rumah’ itu dekat. 

Leave a Reply

Your email address will not be published.