Penghias langit

Dear Ustica Haedy,
Aku hanya ingin sedikit menekankan suatu hal terkait pembicaraan kita yang sudah-sudah. Tentu kau sudah begitu baik memahaminya, lebih baik dariku. Hanya saja menerima pesanmu pagi ini aku jadi ingin sedikit berbagi. Namun terkadang melalui sebaris kalimat, sepenggal kata-kata, pun sekedar berkirim emote melalui telpon genggam tak cukup menggambarkan maksud yang ingin kusampaikan padamu. Maka pada kesempatan ini boleh ya aku bercerita secuplik perjalanan 🙂

Kali ini adalah tentang kesempatan yang hilang.

Umm…maaf salah. Bukan seperti itu. Aku rasa redaksi kalimat yang lebih tepat adalah; kesempatan (yang menurut kita) hilang, sedang Allah sudah menyiapkan kesempatan lain yang lebih baik. Boleh ya aku mulai dengan mencantumkan sedikit tulisanmu 🙂

18 Mei 2013
Prosa khatulistiwa.

Selepas subuh, dengan mukena masih membalut badan, kami bertiga berjalan ke pantai tanpa pulang dulu ke rumah Makdah. Kata Reni, dia akan memperlihatkan rasi bintang Orion (yang pada akhirnya kita menyerah karena tidak bisa menemukannya dari kerumunan bintang yang ‘mendadak’ -entah bagaimana- menjadi sangat banyak dan ramai macam pasar kaget di depan Gedung Sate. 🙂
Pertengahan Juli 2013.
Pagi benar sehabis subuh aku dan dua temanku menyusur naik-turun jalanan berbukit di Amed. Berhenti di beberapa lokasi, melongok-longokan kepala ke beberapa halaman penginapan, mencari tempat paling nyaman menunggu terbitnya mentari. Mencari lahan lapang tanpa penghalang pada sudut barat, ke arah garis horizon tipis pembatas laut dan langit.
Kepala kami melongok setiap beberapa meter pada penginapan-penginapan yang memiliki halaman yang menghadap ke arah barat. Berhenti sejenak di celah yang menyisakan ruang antar penginapan satu dengan yang lain, atau pada sela-sela nyiur yang berbaris di tepian. Menemuinya masih kurang begitu pewe lalu kembali menyusur jalanan, hingga kami sampai di ‘gardu pandang’ ini.
Adalah sebuah penginapan besar yang tampak usang tak berpenghuni. Jalan setapak menuju pintu utamanya ditumbuhi rerumputan liar yang sudah mulai menua, warna hijaunya berubah menjadi kekuningan, mengeras. Mengintip dari celah pintunya yang berderit ketika digeser, ruangan di dalamnya luas berdebu dengan pilar-pilar penyangga atap bangunan. Cat di dindingnya terkelopek di banyak bagian. Mencoba menelisik dari jendela-jendela rendahnya, ada sebuah tangga melingkar untuk turun ke bawah.
Menyudahi mengintai bagian dalam gedung aku segera melangkah ke halaman luas di depan bangunan tersebut. Halamannya benar luas. Pemandangan yang lapang. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, gedung ini kurang lebih berdiri di satu bagian bukit di Amed sehingga dari atas sini bangunan lain tampak bersemayam lebih rendah di bawah. Berjinjit dengan memegang pagar tembok rendah berukir, sejauh mata memandang adalah laut biru berkawan langit dengan berwarna semburat oren keemasan di atas batas garis horizontalnya.
Siapa sangka, kebahagiaan dapat kita temukan di bangunan tua usang seperti ini? Lihat! wajah langit di ufuk barat selepas subuh saat itu. Hasil karya Tuan Langit kita :’)
Wajah langit pertengahan juli lalu di Amed
Tak ingin menyia-nyiakan udara pagi segar yang disediakan alam, aku menghirup nafas dalam-dalam, menggunakan kapasitas maksimal paru-paru. Membuka kelopak mataku lebar-lebar, mendongakkan kepala.
Hey, lihat itu. Konstelasi yang sangat familiar! Empat bintang membentuk segi empat dengan tiga bintang berjajar di tengahnya.
Orion dengan tiga bintang berjajarnya yang khas
Orion disusul mentari
Ini dia Ca, Orion. Satu rasi yang saat itu kita tak beruntung bersama melihatnya. Dari rasi bintang, ada dua yang (menurutku setidaknya) mudah diidentifikasi tanpa membuka stellarium, yakni konstelasi ini dan konstelasi Scorpion.

Orion; bintang paling terang dari konstelasi ini adalah Rigel. Tiga bintang yang berjajar di tengahnya adalah Alnitak, Alnilam, Mintaka (Alnilam berasal dari bahasa arab :D). Jajaran tiga bintang, posisi unik yang memudahkan kita mengenali konstelasi ini. Hal menarik lain dari konstelasi ini adalah adanya bintang penyusun yang bernama Bellatrix. Nama yang familiar bukan? Ternyata banyak nama tokoh di novel itu diambil dari nama-nama bintang, seperti Remus, Regulus, Sirius 🙂
Kembali ke pembicaraan sebelumnya.
Januari lalu dengan-masih-berbalut-mukena, seperti tulismu di atas,melalui gang-gang gelap kita bertiga menuju pantai selepas subuh di desa itu, mencari peruntungan melihat konstelasi ini. Entah itu terlalu banyak bintang bertebar atau jangan-jangan awan saat itu agaknya sedang berembug rapat sehingga berkas-berkas cahaya Orion terhalang, tak tertangkap kornea mata kita.
Tapi Ca, seperti yang kita tahu, Orion tetap beredar di langit. Pagi ini, esok, esoknya lagi, pun satu pagi Januari lalu –saat kita sedang kurang beruntung- atau bahkan kemarin lusa Orion tetap di langit. Bergerak patuh pada lintasan edarnya. Kecuali Tuan Langit berkehendak lain.
Namun, untuk dapat memandangnya sempurna seperti selepas subuh ini -dalam hal ini aku yang sedang berdiri di halaman penginapan usang- perlu menunggu pergantian bulan juga berpindah tempat. Pagi itu kita ke pantai coba memandang langit mencari Orion di sana, tapi tak terlihat. Bisa saja esok sebelumnya ketika kita ke tempat itu kita bisa melihatnya, tapi sayang tak kita coba saat itu. Atau esok berikutnya ketika kita kembali ke sana mungkin kita bisa melihatnya, tapi tak jua kita coba. Aku rasa memang ada saat-saat kita perlu menunggu dengan tetap berusaha untuk dapat menatapnya utuh. Bersabar menunggu berkas-berkas awan perlahan menyingkir dari satu dua bintang penyusun konstelasi. Kali ini tak terlihat dari tempat ini, mungkin dapat kita coba untuk melihatnya dari tempat lain.
Agaknya begitu juga kan Ca yang berlaku pada urusan rejeki yang sudah ditetapkan-Nya?:) 
Atau bisa juga kemungkinan ini yang terjadi. 
Saat memandang langit pagi yang sedang berawan kita bisa mengira satu dua bintang termasuk dalam satu konstelasi tertentu. Bukan berarti ada satu dua bintang di langit barat pagi-pagi sekali, lalu kita bisa berkata bahwa itu Orion bukan? Tanpa benar mengecek koordinatnya pada stellarium. Berspekulasi.
Lalu kita memutuskan menunggu, bersikeras untuk melihatnya tapi kumpulan awan masih menutup konstelasi. Awan rapat bergeming. Tak bergerak.
Kalau begini hanya satu yang bisa kita lakukan, betul bukan Ca?;)
Iya betul, berdoa.
Jalan penyelesaian dimana urusan-urusan tidak lagi terhubung secara horizontal. Sehingga tak perlu lagi aku keluhkan padamu kapan kita bersama bisa melihat konstelasi utuh Orion, karena aku tahu suatu saat (barangkali) kau lelah mendengarku melulu bertanya. Sehingga tak lagi kau usulkan padaku kesana-kemari untuk bersama memandang utuh konstelasi ini pagi-pagi, karena (barangkali) aku sudah terlalu lelah untuk selalu berpindah tempat.
Oleh karena itu kan Ca, kita sepakat bahwa jalan paling paling baik adalah dengan berdoa, membangun hubungan vertikal pada Penguasa Langit dan Bumi. Siapa tahu sejurus kemudian doa-doa kita melesat naik, lalu Tuan Langit akan berbaik hati menggerakkan angin untuk mempercepat pergerakan awan yang menutupi konstelasi ini 😉
Tapi tunggu, atau ini yang malah sebenarnya terjadi.
Bila berbagai macam cara sudah kita coba; berpindah tempat, berganti waktu, kemudian menunggu awan menyingkir, pun sudah berdoa pada Sang Maha Penggerak, berharap Dia menggerakkan angin untuk menggeser awan yang rapat menutup konstelasi; tapi tak jua menunjukkan tanda, maka agaknya memang harus kita sudahi. Mendongak terlalu terfokus pada konstelasi di langit, aku takut kita jadi tidak menyadari ada perahu merapat ke tepian yang hanya berjarak dua pelemparan batu dari kita berdiri. Perahu yang disiapkan untuk kita menyusur laut, menikmati keindahan lain Sang Pemilik.
Bolehlah kita sebut kemungkinan-kemungkinan tersebut dengan kejutan-kejutan.

Benar ya Ca, menarik sekali rasanya menunggu kejutan-kejutan. Berdebar-debar gimana gitu hehe. Apa lagi ya yang sedang dipersiapkan-Nya di depan sana?

Allah knows, we do not.
Yang terpenting adalah kita sudah mengusahakan yang terbaik, begitu bukan Ca?
Semoga nanti ada kesempatan lagi kita beli es krim spongebob rasa pisang dari istek, lalu duduk-duduk di kursi di taman ganesha, atau di lapangan cinta di kampus juga boleh hehe. Duduk-duduk di bawah pohon besarnya yang rindang sambil ngobrol banyak hal :’)
Faidza ‘azzamta fatawakkal ‘alallah.
Dengan menulis ini aku juga sedang menasihati diriku sendiri.
“Jika sepotong kisah hidup kita tidak selesai, tutup potongan tersebut, lanjutkan kisah yang lain. Ada banyak cerita baru yang lebih seru telah menunggu.
Jika sepucuk keinginan kita gagal terpenuhi, maka tinggalkan keinginan tersebut, teruskan keinginan yang lain. Ada banyak keinginan yang lebih baik yg tersedia.
Hidup ini sebentar, jangan habiskan berkutat di sepotong kisah saja.”
-Tere Liye

Leave a Reply

Your email address will not be published.