Berburu jajan pasar legendaris Mbah Satinem

Saat browsing film di Netflix yang mengulas tentang streetfood, tidak sengaja saya menemukan dokumenter penjual jajanan pasar legendaris di Jogja. Mbah Satinem namanya. Dalam durasi 30 menit, diceritakan bagaimana Simbah mulai memproses adonan hingga menjadi lopis, ketan, dan cenil. Sebagai penggemar jajan pasar, menonton tayangan itu saja membuat saya sangat rindu mencicip jajanan langsung dari kampung halaman, yang rasanya tiada dua.

Libur akhir taun ini, saya dan suami berkessempatan pulang ke Magelang. Namun sebelumnya, kami singgah dulu dua malam di Jogjakarta. Ceritanya menemani pak suami flashback masa masa kuliahnya. Tentu, berburu jajan pasar Mbah Satinem masuk dalam agenda. Maka dari itu, Rabu pagi pukul 5.50an, tidak pakai mandi segala, kami sudah meluncur dari hotel ke lokasi Mbah Satinem berjualan. Kenapa begitu awal? Konon di film dikatakan kalo sudah kesiangan, bisa bisa kehabisan nomor antrian. Tidak mau kehabisan, cusss tancap gas lah kami pagi pagi sekali.

Tidak lebih dari 10 menit, kami sampai di lokasi. Tempatnya di daerah Jetis, dekat dengan Tugu. Jika kesulitan browsing melalui google map saja, mudah ditemukan.

Kami tiba pukul 6 lebih sedikit. Di tepi pertokoan sudah berjajar mobil mobil dan motor. Pembeli berkerumun, membentuk setengah lingkaran. Dari sela sela, di tengah tampak Mbah Satinem sibuk melayani pelanggan.

Mendhet nomor sik Mbak, mangkeh ndak mboten kebagian,” kata Mas-mas di samping. Sepertinya menyadari kami baru datang. (Ambil nomor dulu Mba, nanti takut ngga kebagian)

Dan… kami dapat nomor 35 hahaha. Padahal masih sepagi itu. Rame sekali sih memang.

Kebetulan pagi itu saya dan suami perlu melakukan rapid antigen. Sambil menunggu antrian, kami pikir ngga papalah ditinggal dulu, toh tadi kata mas-masnya tiap orang perlu sekitar 10 menit.

Kami tiba di Kimia Farma, klinik tempat rapid, pukul 6.30. Ambil antrian, pendaftaran, kemudian di swab. Lumayan lama juga, baru beres jam 8an. Seselesainya kami segera meluncur ke Jetis.

Sesampainya di lapak Mbah Satinem, tampak kerumunan sudah jauh berkurang. Tersisa 10an orang.

Nomor pinten Mba sakniki?” tanya saya. (Nomor berapa Mba sekarang)

“16 Mba..”
Oemji masih jauh bangeeet hahaha.

“Kayanya ngga akan kebagian deh sayang..” kata pak suami.

Eits, aku pantang menyerah masbeb. Berhubung udah mupeng dari sejak nonton di netflix, bakal dijabanin ngantri meski cuman dapet ketan (keliatan ketannya masih setengah panci, masih paling banyak wkwk)

Benar saja. Banyak pengantre yang kelamaan menunggu kemudian menyerah. Dari 16, longkap ke 19, 24, 29, 30, 34, lalu 35, finally!

Ngobrol-ngobrol dengan anaknya yang membantu jualan, dulu awalnya simbah berjualan keliling. Setelah agak sepuh dan gampang lelah berjalan jauh, simbah emudian berjualan dengan menggelar lapak tepat di depan Toko Optik Jogja, sampai saat ini. Awalnya pelanggannya biasa saja, hingga suatu hari seorang pembeli datang yang ternyata ajudan Presiden Soeharto. Singkat cerita Pak Soeharto pun ikut menjadi pelanggan Mbah Satinem. Setiap bertugas ke Jogja, tidak lupa selalu memesan jajajan pasar di tempat Simbah. ‘Enak, cocok dengan selera Bapak’ begitu diceritakan anak Simbah.

Sejak itulah, Mba Satinem mulai tenar. Pelanggan datang berduyun duyun. Yang awalnya datang satu, tiga lima sekali waktu; perlahan mulai membludak. Berebut siapa datang lebih dulu, mau dilayani lebih dulu. Oleh karena itu, dibuatlah nomor antrian.

“Mbak, kenapa ngga buat toko saja, atau ngga ada rencana buka cabang?” tanya suami iseng.

“Ndak tau tu… Simbahnya yang ngga mau,” sahut anak yang membantu berjualan.

Namun, kalau ditilik tilik, barangkali cara berjualan itulah yang membuat jajan pasar Mba Satinem menarik. Begitu..otentik. Terutama bagi para pendatang, yang berlibur ke Jogja dan pingin mencicip jajan pasar Simbah. Coba lihat cara simbah memotong lonjongan lopis dengan menggunakan benang, satu persatu (jadi kebayang kan kenapa lama? hehehe) Saat ditanya kenapa ngga pakai pisau saja, katanya karena akan jadi sangat lengket dan merusak tekstur potongan lopis. Kemudian, dimana lagi sih, merasakan animo ngantri panjang demi membeli jajan pasar. Sensasi menunggu antriannya, bahkan lebih menantang ketimbang mengantri kalau mau makan di restauran seperti Sushi Tei, Shabu Hachi, semacamnya. Itu karena simbah membawa dagangan terbatas. Kalau dapat nomor tapi dagangan habis, yasudah tidak dapat.

“Paling banyak Simbah bawa lopis 10 kg, kalau sedang musim liburan seperti ini. Kalau hari hari biasa, paling 8 kg aja.”

Lopis memang yang paling banyak dicari pembeli. Sayang, lopisnya habis oleh pengantri 34. Padahal saya sudah menatap mengiba, memberi kode pada si nomor 34, sambil berbisik pelan ‘please please mugo mugo lopis e ojo dientekke karo mase‘. Tapi diembat semua olehnya huft. (Please, semoga lopisnya tidak diborong sama mas no 34).

Mbak e purun nopo?” tanya Mbah Satinem. (Mbaknya mau jajan apa?)

Saya kemudian minta 2 bungkus lopis campur ketan, dibubuhi parutan kelapa, disiram gula aren dan bubuk kedelai. Ah, lezatnya.. cukup untuk memuaskan lidah ini.

Setelah menyerahkan selembar uang 20 ribuan, berterimakasih lalu foto sebentar dengan Mbah Satinem, kami beranjak kembali ke penginapan. Setelah kami, tinggal satu orang pengantre terakhir bertahan. Seperti saya ke pengantre 34, kayaknya dia pun sebal. Karena cenilnya habis oleh saya, menyisakan ketan saja hahaha. Monmaap yah masnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.