Apakah rasanya setiap sel-sel di tubuhmu sudah maksimal lelah? Lelah untuk terus dipaksa ‘on’ agar tidak tertidur saat mengetikkan kalimat demi kalimat untuk bundel skripsi. Memaksa untuk melek hingga tengah malam atau bahkan pagi demi tidak melewatkan tenggat waktu pengumpulan.
Atau mungkin pernah sampai jarimu gemetaran akibat kurang tidur. Badan rasanya anyep, dingin, kepala kadang terasa pusing dipenuhi hal-hal terkait revisi dari dosen pembimbing, belum lagi belajar untuk mempersiapkan pendadaran. Mengetik seharian lalu lupa mandi #eh. Asal jangan lupa sholat tidak apa-apa.
Apakah hatimu berdebar-debar akan menghadapi sidang besok?
Itu wajar. Sini, aku mau bercerita sedikit.
Adalah Selasa, 12 Maret 2013. Syahdan teradapat seorang perempuan yang akan menghadapi sidang awal tahun ini, yaitu aku hehe. Malam sebelumnya aku menginap di lab di kampus, berharap memanfaatkan sebaik-baik waktu malam terakhir sebelum sidang untuk belajar karena kalau di kosan seringkali jatuh tertidur. Membaca cepat, memahami lagi ringkasan-ringkasan yang sudah aku buat. Baru memejamkan mata saat jam menunjukkan pukul 3 pagi. Terbangun segera untuk subuh dilanjutkan diskusi dengan 2 kawanku yang juga menginap di lab saat itu.
Siang harinya bertemu dengan Pak Mamid, dosen pembimbing. Rasanya badan sudah tidak mau diajak kompromi. Melihatku dalam keadaan yang (sepertinya) tampak mengenaskan, pembahasan sedikit saja lalu Pak Mamid menyuruhku pulang. “Udah, segera selesaikan presentasinya Ren, kan tinggal dikit lagi itu. Lalu istirahat aja buat besok,” kata beliau. Aku tidak mengiyakan, bandel sekali. Masih mencoba memaksa membaca di kampus bersama teman-teman yang akan sidang hari setelahnya. Soalnya aku takut sekali akan diuji oleh Bu Mae, dosen dengan spesialisai biokimia molekuler *fiuh*. Jadilah siang itu aku belajar biokimia dengan satu teman. Ibu ini yang membuatku sangat risau menghadapi sidang esok hari.
Sore aku kembali ke kosan. Sudah tidak bisa lagi membaca apapun. Yang diingat pada sore itu adalah aku menelepon bapak dan ibu, menangis sesenggukan. Bilang kalau aku takut buat sidang besok. Bapak bilang,” Udah didoain sama bapak sama ibu, Mbak Reni sekarang istirahat aja.” Sebentar saja lalu menutup telepon. Pastilah aku saat itu membuat mereka khawatir. Maafkan ya Pak, Bu. Lalu ada telepon dari Falma dan Dian, yang aku sendiri tak keruan menjawabnya, aku bilang takut sama Bu Mae.
Lalu datang Ica dan Ratih. Aku yang masih sesenggukan merisaukan esok hari. Lalu begini kata Ica,” Ren, aku ngga tau harus memberi masukan yang tepat seperti apa. Tapi Ren, ini rasanya cuma siklus kan ya. Tahun lalu aku sidang, rasanya deg-degan lalu terlewati. Sekarang Reni sidang, deg-degan risau-risau begini. Tapi Ren, besok setelah dhuhur itu InsyaAllah sudah terlewati. Nanti Reni InsyaAllah udah lega. Ini ngga tau deh nanti buat sidang tesis mungkin aku akan deg-degan lagi kan Ren. Jadi pokoknya berdoa saja wes ya sama Allah. Cuma itu yang bisa dilakukan kan Ren.” Mengatakannya dengan tersenyum.
Tapi dasarnya hati sedang risau, sedang tidak mau diajak berkompromi. Jadi aku cuma ngangguk-ngangguk.
Jadi aku melewatkan malam itu dengan menyelesaikan presentasi, tidur, dan berdoa. Karena kelelahan siang harinya, aku tidur setelah sholat isya, terbangun pukul 22.00. Segera menyelesaikan presentasi untuk sidang esok hari, kemudian kembali memejamkan mata.
Kemudian ini cerita pada keesokan hari, 13 Maret 2013.
Ajaib.
Jantungku berdetak tidak lebih kencang dari biasanya. Alhamdulillah, pagi itu suasana hati sangat nyaman dan tenang. Sepertinya Allah mengabulkan salah satu poin doaku “semoga diberi ketenangan hati saat sidang nanti”.
Pukul 10.00 WIB, Kamal salah seorang kawan keluar dari ruang sidang. Tersenyum lega saat keluar ruangan, lulus katanya. Maka sekarang giliranku.
Lalu aku melangkah masuk ke ruang sidang dengan hati yang Alhamdulillah tenang dan nyaman. Melakukan presentasi dengan Alhamdulillah lancar. Tanya jawab dengan dosen penguji. Kemudian tepat pukul 12.00 WIB selesai tanya jawab aku diminta keluar ruangan, dosen-dosen ingin berdiskusi sebentar.
Tahu tidak? Keluar dari ruangan aku menyadari satu hal. 80% pertanyaan yang diajukan oleh dosen penguji adalah materi yang aku baca. Allah mengabulkan juga satu poin doaku “semoga dosen penguji mengajukan pertanyaan dari materi yang sudah saya baca”. Sepuluh menit kemudian aku diminta masuk kembali ke ruang sidang. Pak Mamid, Bu Mae, Bu Lulu, dosen penguji, memberitahukan bahwa aku lulus. Alhamdulillah.
Begitu cerita singkat 2 hariku.
Oya, tentang dosen yang aku risaukan. Bagaimana Bu Mae saat sidang?
Ah begitulah yang biasa terjadi bukan? kita suka sekali merisaukan hal-hal yang belum terjadi. Bu Mae saat sidang adalah dosen yang dengan senyum manis menanyakan hal-hal yang ‘kebetulan’ aku sudah baca. Dia mengajukan setiap pertanyaan padaku dengan lembut. Apabila aku kurang mengerti pertanyaan yang diucapkan, beliau mengulangi dengan hati-hati hingga aku paham lalu dipersilakan untuk menjawab.
Jadi kalau sekarang deg-degan buat besok, halau saja risaunya. Berdoa, percayakan saja pada Allah.

Aku tau kau sudah memiliki list doa secara detail. Semoga sesuai dengan harapanmu.
Dari satu tempat yang baru pertama kali aku menapakkan kaki, tempat tertinggi yang aku pernah berdiri.

Oya satu lagi, aku ingat kata temanku saat itu. Semoga kita juga ingat untuk sidang-sidnag lain berikutnya. Dia bilang seperti ini,
“Baru sidang begini lho Ren, belum lagi sidang di akhirat ntar.”