Rabu sore minggu ke-empat.
Dia menoleh ke belakang. Tiga kali bertatapan mata dengan saya, sebanyak tiga kali itu pula kami saling melempar senyum.
“Hanuna.”
Anak perempuan itu menjawab saat saya bertanya siapa namanya. Senyum manis tergaris di bibir mungilnya saat melafalkan ‘hanuna’, senyum yang sama saat dia menoleh tadi. Dia mendekat, memperhatikan buku dengan halaman yang sudah setengah penuh terisi.
Memiring-miringkan kepala, mensejajarkan pandangan matanya dengan tulisan di buku mencoba mengeja kata-kata yang menyusun kalimat. Seketika ia melepas mukena yang membalut ujung rambut hingga ujung jari kakinya, menampakkan muka bulat dengan rambut pendek sebahu, melipat sekedarnya lalu dia melangkah cepat menuju selasar. Saat saya mengintip melalui jendela, selasar kosong.
Tak lama kemudian Hanuna kembali ke ruang utama, menggenggam sebuah pulpen dan buku dengan cover biru tua. Saya tak terlalu memperhatikan kedatangannya, kalimat kalimat yang diucapkan pembicara di depan membuat saya hanya menoleh sekilas pada anak perempuan yang sudah kembali duduk jenak di samping saya, dia sibuk mengenakan kembali mukenanya.
“Tadi bapaknya bilang apa ya, hanuna denger ngga?” saya menoleh bertanya pada Hanuna, merasa terlewat beberapa kalimat yang sepertinya penting. Menulis kalimat-kalimat dengan cepat seperti ini menuntut tangan dan telinga terkoordinasi dengan baik.
“Ngga denger hehe,” kata Hanuna sambil menyunggingkan senyum dengan sederet gigi putih yang rapi. Saya, yang awalnya bertanya serius ke hanuna dengan masih terbawa suasana penyampaian materi, kemudian ikut tertawa kecil, berpura marah memperlebar mata memperlihatkan sederetan gigi sambil mencubit pipi tembemnya. Hanuna tetap pada senyumnya.
Telunjuk mungil Hanuna menunjuk satu kata di buku tulis saya.
“Ini apa kak tulisannya?” tanya Hanuna sambil tak melepaskan pandangannya dari kalimat di buku, dahinya berkerut kerut.
“Itu ‘kita’. Itu ‘k’ ya Nun,” jawab saya. Kepala k terbaca seperti huruf R membuatnya ragu dengan kalimat yang terangkai. Iya betul, Hanuna ikut mencatat, dan saya baru menyadarinya. Saya mengamati kalimat-kalimat yang ia tuliskan.
“Hanuna nulisnya mulai dari sini aja, itu udah lewat setengah,” kata saya sambil membalik ke lembar sebelumnya. “Poin-poin yang ini aja Nun,” kata saya sambil menunjuk tulisan dengan nomor-nomor di depannya, karena saya lihat dia mencatat kalimat-kalimat dari catatan di pertengahan materi.
Lima belas menit kemudian bapak di depan menngucapkan kalimat penutup, mengakhiri hal-hal yang disampaikannya. Hanuna masih sibuk mencatat. Membalik lembar-lembar dari catatan saya.
“Besok ke sini lagi nggak?” katanya menoleh pada saya.
“Besok magrib? Belum selesai ya nyatetnya?” tanya saya.
Hanuna mengangguk.
Lalu rabu sore ini ada Hanuna. Sebentar saja kami rasanya sudah menjadi teman baik. Mata cemerlangnya, semangat untuk mencatat, sedikit cerita hidup yang tadi diutarakan, lalu rasanya ada tangan-tangan tak tampak yang diarahkan-Nya untuk menepuk ramah bahu saya.
Maka pada rabu sore untuk empat pekan ini ada dua nama yang dengan rencana-Nya kemudian tiba-tiba sudah melekat saja di hati. Dari cerita-cerita yang disampaikan, dari ketulusan yang dapat dirasakan, dari cerita hidup yang kemudian ‘mengetuk’ lubuk, dari tatapan-tatapan yang meluluhkan.
—
Kamis, 26 Desember 2013.
Pagi ini kami tak jadi menyusur pantai, mae menganjurkan kami untuk main di rumah saja. ‘Angin kenceng mbak, dan ini sedang panas-panasnya’ begitu kata mae. Mae, begitu Hanuna memanggil neneknya. Begitulah, pagi ini ini saya berdiam di rumah mae untuk ngobrol-ngobrol.
Mae bercerita bahwa beliau bekerja menyapu halaman masjid setiap hari. Selain mae dan Hanuna, yang menempati rumah itu ada suaminya. Ibu Hanuna kadang pulang saat ada libur panjang dari tempat dia bekerja.
“Hanuna cita-citanya jadi apa?” tanya saya saat Hanuna menulis di bukunya.
“Mau jadi dokter,” kata Hanuna sambil menoleh dengan senyum yang sama seperti senyum saat sore kemarin saya pertama kali mengenalnya
“Wah pasti bisa, yang semangat belajarnya ya Nun. mau jadi dokter apa?” tanya saya lagi.
“Hmmm.. pokoknya dokter. Biar kalo mae sakit nanti berobatnya gratis. Ya mak ya,” sahutnya sambil memandang mae.
“Sejak bisa ngomong dia sering sering sekali bilang mau jadi dokter mbak. Semoga saya dikasi umur panjang, biar bisa ngerawat Hanuna. Ibunya juga semoga dikasi rejeki biar bisa nyekolahin Hanuna sampe bisa jadi dokter,” kata mae.
dipertemukan dengan mae dan Hanuna pada pagi-Mu yang kesekian. Pagi-Mu yang selalu bisa memberikan tepukan-tepukan ramah :”)
Pada Sang Pemilik,
Yang Maha Mendengarkan, Yang Mengabulkan doa-doa.
Saya meng-aamiin-i ucapan-ucapan Hanuna dan mae pada pembicaraan kami pagi ini.
—
Hanuna pagi ini saat saya membuka pintu triplek bercat biru. Anak perempuan itu sedang berdiri di atas kursi kayu, berusaha mensejajarkan wajahnya dengan kaca yang ada di atas tumpukan genteng, membedaki wajah mungilnya.

