Lewat bapak becak

Surabaya, 23 Oktober 2013.

Pukul tiga matahari melambung perlahan ke sisi barat, terik sinarnya di Surabaya tak lagi semenyengat siang tadi. Sore ini saya perlu membeli tiket kereta dengan jadwal pemberangkatan tercepat dengan tujuan Banyuwangi. Kata teman, mencapai Gubeng dari sekitar Jalan Pandegiling tidak sulit buat orang yang baru 3 hari menginjakkan kaki di Surabaya. Jadilah saya mantap saja menyusur gang Kampung Malang menuju jalan raya.

Sampai tepi jalan raya saya mampir ke warung kecil, membeli 2 bungkus bengbeng kemudian duduk di kursi kayu panjangnya, menunggu angkutan umum menuju Gubeng yang katanya akan banyak dijumpai di jalan ini. Tiga puluh menit menunggu tak satupun angkutan kota melintas. Saya bertanya pada mas penjual yang kemudian disarankan untuk naik becak. Melihat seorang bapak mengayuh becak muncul dari tikungan, saya lalu melambai-lambaikan tangan.

Sebentar kemudian saya sudah duduk manis asik mengamati ramai jalanan khas kota-kota besar. Di kanan kiri kendaraan melintas cepat, saya saja yang rasanya berlalu dalam slow motion di kursi becak si bapak. Kurang lebih setelah tiga puluh menit sesi mengamati jalan raya kemudian bapak becak mengurangi kecepatan kayuhannya, merapat ke trotoar.

“Sudah sampai, Mbak,” kata bapak becak.

“Cepet juga ya Pak saya kira lebih lama dari ini hehe. Ke loket tiketnya lewat mana ya, Pak?” tanya saya

“Itu Mbak, pintu masuk yang di tengah,” kata bapak becak sambil menunjuk ke satu pintu masuk. “Ati-ati ya Mbak sama barangnya, suka banyak copet di dalem. Atau itu tasnya dicangklong di depan aja.”

“Oh gitu ya Pak, makasi banyak ya Pak. Oya Pak, ini saya kan saya cuma beli tiket aja sebentar nanti langsung mau pulang lagi ke Jalan Pandegiling. Boleh ngga Pak kalo ditunggu aja? Takutnya nanti ngga ada becak, saya ngga tau jalan pulang kalo naik angkutan umum hehe,” kata saya.

“Iya Mbak, kalo gitu saya tunggu di sini,” kata pak becak.

Saya mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribuan, menyerahkannya ke bapak becak kemudian masuk ke gedung stasiun Gubeng.

“Sebentar ya Pak,” kata saya lagi sambil berjalan menjauh.

Saya masuk ke satu ruangan besar dengan orang-orang berseliweran. Memandangi papan keberangkatan, mengamati satu persatu jadwal. Ternyata oh ternyata, jadwal paling cepat sebelum ini ada pada kereta ekonomi yang sudah berangkat jam dua siang tadi, sementara sekarang waktu menunjukkan pukul 15.30 wib. Mengamati lagi jadwal keberangkatan-kedatangan. Ada satu kereta bisnis menuju banyuwangi yang akan berangkat pukul 22.00 wib, satu satunya kereta pemberangkatan terakhir hari ini. Tak ada pilihan lain.

“Pak kalo mau beli tiket kereta bisnis dimana ya?” tanya saya ke pak satpam setelah celingak celinguk tidak melihat loket yang bertuliskan menjual tiket kereta bisnis.

“Kalau mau beli tiket bisnis dan eksekutif ke stasiun yang baru Mbak, muter mlipir jalan raya nanti sampe di depannya,” kata pak satpam sambil tangannya menunjukkan arah kemana saya harusnya membeli tiket.

“Jalan kaki bisa Pak?” tanya saya.

“Jalan kaki bisa Mbak, deket kok,” kata pak Satpam.

Kemudian saya keluar ruangan, menghampiri bapak becak yang sedang duduk bersantai di kursi becaknya.

“Pak, ternyata beli tiketnya harus ke stasiun baru, ngga bisa di sini. Saya ke stasiun baru dulu ya pak,” kata saya ke bapak becak.

“Ndak dianter aja Mbak?” kata bapak becak.

“Ngga usah saya jalan aja ngga papa Pak. Kata pak satpamnya deket, bapak di sini aja,” kata saya, bapak becak mengangguk angguk.

Lalu saya menyusur trotoar di tepi jalan raya. Sempat ragu di tikungan kemudian bertanya pada bapak polisi yang sedang jaga di posnya. Pak polisi juga bilang ‘jalan aja nyusurin trotoar Mbak, nanti sampe’ benarlah saya menyusur trotoar sampe depan gerbang. Deket sih memang, tapi ngga begitu deket hehe. Tadi pas pak satpam bilang deket, mimik wajah si bapak mengatakan seakan tinggal jalan sekuprit aja ^^a

 

Inilah Gubeng pukul 15.30 wib.
Sore pada kali pertama saya menginjakkan kaki di Stasiun Gubeng baru disambut dengan live music yang memainkan lagu ‘pergi untuk kembali’, lagu yang kalau di rumah gemar dinyanyikan oleh bapak. Dengan live music yang dimainkan andante begini rasanya orang jadi menikmati masa-masa antrian meski panjang mengular. Saya lihat ada ibu-ibu menggandeng anaknya bersegera melalui pintu pemeriksaan memasuki jalur kereta, barangkali beliau takut tertinggal jadwal pemberangkatan. Lalu ada sekelompok orang-orang dengan tas gunung duduk di pojokan, tampak sedang menunggu kereta yang akan membawa mereka berpetualang menuju lain tempat. Orang-orang yang duduk di kursi besi. Satu dua orang mengetuk-ngetukkan jari, ada juga yang menggerak gerakkan ujung sepatu mengikuti irama lagu. Tersenyum sendiri mengamati, suasana mendadak syahdu:’)

Stasiun, salah satu pemberhentian sejenak menuju lain tempat. Tempat berpisah, bertemu, tempat menunggu.

Berdiri di antrian yang mengular sambil browsing membaca apa yang bisa dibaca, mengamat-amati sekeliling. ‘Deg!’ Saya tiba-tiba teringat pada bapak becak. Melihat jam tak terasa ternyata sudah pukul 17.00, satu jam berlalu dalam antrian mengular sementara di depan masih ada beberapa orang lagi sebelum saya. Jadi tidak enak karena tadi meminta si bapak becak untuk menunggu, rasanya ini sudah terlalu lama. Terbersit was-was kalau ternyata bapak becak sudah tidak di sana, menjelang malam entah bagaimana nanti. ‘Semoga bapak becak masih parkir di tepi trotoar tadi’ pikir saya.

Pukul setengah enam barulah antrian panjang untuk mendapatkan tiket selesai, yang artinya dua jam membuat bapak becak menunggu. Sudah semakin sore, langit berubah warna kemerahan. Cepat-cepat saya berjalan menuju stasiun lama merasa tidak enak pada bapak becak, bersegera kembali menyusur trotoar di tepi jalan raya.

Benarlah, sesampainya di depan stasiun lama saya tidak melihat bapak becak tadi. ‘Mungkin si bapak sedang ke mana’. Saya memutuskan masuk ke salah satu toko yang menjual minuman, kemudian duduk di undakan di depannya sambil menunggu si bapak, melihat ke sekeliling menunggu si bapak becak muncul.

Bapak becak tidak juga muncul.

 

Jangan-jangan bapaknya menunggu terlalu lama, kemudian bosan lalu kembali ke jalan pandegiling tempat mangkalnya. Saya merasa tidak enak sekali pada bapak becak tadi. Sedang memang tadi tak ada waktu bagi saya kembali ke sini untuk meyakinkan si bapak becak agar jangan pergi dulu karena saya pasti akan balik lagi. Yang luput oleh saya ialah antrian mengular yang memakan waktu hingga satu jam setengah. Sebelumnya saya pikir akan cepat saja; datang, membeli tiket, segera kembali menemui bapak becak.
Saya benar menjadi tidak enak hati bila bapak becak memutuskan kembali lebih dulu ke jalan pandegiling karena terlalu lama menunggu saya yang tak kunjung datang. Saya berharap yang terjadi ialah ada orang lain datang meminta jasa bapak, lalu bapak mengiyakan.
Siapa saya berhak meminta bapak untuk menunggu? Sedang saat itu ada orang lain yang lebih mendesak memerlukan jasa transportasi dan orang tersebut tentu menjadi jalan rejeki bagi bapak. Bapak mengiyakan pun karena alasan tak tahu pasti kapan saya akan datang. Bapak siap dengan jasa bapak, orang tersebut siap dengan harga yang harus dibayarkan.
Tidak semua berjalan seperti yang direncanakan, luput dari pertimbangan saya bahwa antrian memakan waktu hingga satu setengah jam. Tidak seharusnya saya meminta Bapak untuk menunggu. Maafkan saya, Pak.
Meyakinkan diri bahwa bapak tidak muncul, saya beranjak dari undakan melangkahkan kaki ke trotoar menuju ke bapak becak lain (yang ternyata ada) yang parkir di tepi trotoar. Pada bapak becak tersebut saya tanyakan alamat, tarif, kemudian setuju. Begitulah, saya kemudian kembali ke jalan pandegiling gang kampung malang bersama bapak becak yang ini.
Sekali lagi maaf ya, Pak.
Lewat bapak becak sore tadi, saya belajar satu hal;
Dalam urusan ini tidak ada yang meminta untuk menunggu
Bertemu bila memang diharuskan, tidak akan bila memang tak seharusnya
Kata orang bijak ‘Belajarlah dulu banyak-banyak, persiapkan saja baik-baik’
Setiap urusan ada pada ketentuannya; tidak pernah terlalu cepat maupun terlambat, hanya tepat saja
 
Semoga dengan ini tidak ada yang memenjarakan hati
Semoga dengan ini tidak ada yang mengucapkan apa-apa yang belum atau memang tidak seharusnya terucap
Semoga dengan ini tidak ada yang kemudian mengakhiri sebelum ada yang benar benar memulai
 
Everything has been written down, no need to worry. 
Dear you, see you when I see you 😉

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.