Don’t say don’t

Jangan nakal.
Jangan lari-lari.
Jangan main api.
Jangan lupa makan siang.

Empat kalimat pendek di atas merupakan contoh pemakaian kata ‘jangan’ untuk pelarangan suatu tindakan. Dalam menasehati anak kecil khususnya, marak himbauan untuk tidak menggunakan kata ‘jangan’. Menurut himbauan yang tersebar, selidik punya selidik menggunakan kata ‘jangan’ dikhawatirkan akan memberikan hasil yang sebaliknya. Misal pada kalimat ‘jangan main api ya nak’ kemudian si anak kecil yang dinasihati malah pada akhirnya main api. Atau pada kalimat yang simbah saya dulu pernah katakan ‘jangan kepleset, nanti gelasnya pecah’ kemudian saya terpeleset pun gelas yang saya bawa pecah berkeping-keping.

“Kamu pernah denger kan tentang himbauan ‘Don’t say don’t’ ke anak-anak, dimana kalau menggunakan kata ‘jangan’ ke anak-anak malah akan dilanggar. Kamu setuju ngga?” tanya teman.

Saya kontan menjawab,” Setuju. Soalnya ngga cuma di anak-anak. Di aku juga gitu, misal kaya pas ibuku atau siapa bilang ‘ati ati jangan sampe jatuh’. Nanti yang kepikiran adalah bagian ‘jatuhnya’ lalu beneran jatuh jadinya.”

Yang saya pahami dari alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, hal tersebut disebabkan oleh efek psikologis. Suatu hal dikemukakan bukanlah tanpa maksud. Saya pikir himbauan tersebut pasti telah melalui pertimbangan-pertimbangan, penelitian yang membawa hasil sebagaimana telah dikemukakan. Dengan menggunakan kalimat positif, menghindari penggunaan kata ‘jangan’, maka perilaku selanjutnya (diharapkan) akan baik.

“Tapi ya ada contoh hadits ‘La Tahdob wa lakal jannah’ artinya janganlah kamu marah dan bagimu surga. Lalu di Al Qur’an pun banyak pemakaian kata ‘jangan’. Kebanyakan orang sekarang pasti cenderung setuju dengan teori tersebut yang didasarkan penelitian tanpa melalui pendekatan historis teladan zaman, Rasulullah,” kata teman.

“Eh ternyata gimana emang kalau dibandingkan dengan jaman Rasul?” tanya saya kemudian.

“Aku belum menemukan tentang kisah rasul yang mengajarkan tentang itu. Tapi di Surat Luqman, nasihat Luqman untuk anaknya pun menggunakan kata ‘jangan’ kan ya”, kata teman.

“Hooo iya juga ya. Menurutku pemakaian kata ‘jangan’ ini ngga saklek. Lebih baik dihindari, khususnya ke anak-anak. Soalnya ya itu tadi mesti udah ada kajian psikologinya. Jadi bukan karena saat ini ada himbauan untuk menghindari kata ‘jangan’ lalu dibandingkan ke Al Quran, ternyata di Al Quran ada pemakaian kata ‘jangan’ lalu himbauan itu ditentang, ngga gitu juga kan. Terus aku jadi kepikir, kenapa ada kata ‘jangan’ ini malah akan membuat manusia jadi punya pilihan. Jadi dengan adanya kata ‘jangan’ ini kemudian malah menguji. Punya pilihan, mana yang mau dilakukan. Yang kepikir sih :p” menurut kirologi saya (duh, kudu lebih banyak belajar> .<)

Pembahasan mengenai penggunaan kata ‘jangan’ -baik itu untuk mencegah seseorang melakukan sesuatu maupun memperingatkan seseorang yang bersalah- yang (menurut saya) harusnya sudah dikaji secara psikologi kemudian mengarah pada bagaimana pengaplikasian hasil penelitian psikologi itu sendiri, yang ternyata ada hal-hal yang tidak serta merta langsung begitu saja kita terapkan. Di lain sisi, perlunya to the point dengan menggunakan kata ‘jangan’ ialah sebagai fungsi penegasan, agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama.

Dalam memperingatkan orang yang melakukan kesalahan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasul, adalah lebih baik dilakukan dengan langsung menyampaikan kepada orang yang bersalah. Penyampaiannya dilakukan secara personal, face to face, dari hati ke hati. Mengapa begitu? karena ketika dikritik di hadapan umum orang tersebut cenderung tidak melihat point kesalahan yang diperbuat disebabkan oleh rasa malu ‘dijatuhkan’ di depan (banyak) orang lain, yang justru menjadi tidak efektif dan efisien. Ini berlaku untuk memberikan peringatan pada seseorang yang melakukan kesalahan.

Salah satu contoh simpelnya mungkin seperti ini. A mencuri uang milik B dikarenakan A tidak mempunyai cukup uang untuk membayar uang sekolah anaknya. Nasihat ‘dont say dont’ yang diberikan adalah ‘lebih baik kamu mencari uang dengan cara yang benar, seperti misalnya berjualan sepatu untuk mencukupi kebutuhan membayar sekolah’. Sedangkan nasihat to the point yang mengandung ketegasan ialah ‘janganlah kamu mencuri. Karena mencuri itu adalah perbuatan yang tidak mendatangkan keberkahan dan bisa membuatmu masuk penjara, dimana akibat buruknya kamu tak lagi bisa mencari uang untuk menyekolahkan anakmu.’

Kesimpulan dari pembahasan awal ini adalah; tidak melulu menasihati, memperingatkan dengan kalimat positif itu baik, karena ada nasihat yang memang harusnya dengan jelas mengungkapkan kesalahan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jelas disampaikan kesalahannya apa, sehingga tahu benar bahwa sesuatu itu salah. Peringatan atau nasehatnya pun wajib disampaikan dengan cara yang baik dan benar, disampaikan langsung kepada orang yang bersalah, face to face, dari hati ke hati.

Lalu bagaimana pemakaian kata ‘jangan’ untuk anak-anak?

Pada penjelasan sebelum disampaikan bahwa penggunaan kata ‘jangan’ mengaburkan keabu-abuan, memberikan penekanan bahwa sesuatu itu adalah memang benar-benar salah. Menyampaikan pada anak-anak tentu perlu mengalami modifikasi sebagai penyesuaian pada tingkat pemahaman. Tentu bukan menghilangkan kata ‘jangan’ tetapi dengan adanya imbuhan penjelasan. Artikel menarik yang juga membahas tentang pemakaian kata ‘jangan’ pada anak-anak bisa dibaca pada link ini (http://www.penaaksi.com/2013/08/katakan-jangan-jada-muridmu.html?m=1).  Kesimpulan menarik yang ada ada artikel tersebut; membuang kata ‘jangan’ justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan, kelak, ia tidak berzina bukan karena takut dosa, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya. Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”.

Pertanyaan kemudian adalah tentang pemakaian kata ‘jangan’ ke anak-anak. Apa semua untuk menasehati atau memperingatkan dengan memakai kata ‘jangan’ bisa dipukul rata pada semua anak? Saya pikir (lagi-lagi kirologi -.-) kata ‘jangan’ ini bisa mulai digunakan dengan perkiraan orangtua bahwa anak sudah bisa membedakan, menimbang-nimbang, terkait dengan kalimat setelah kata ‘jangan’ itu sendiri. Jadi si anak tahu betul mana yang salah, agar tidak mengulangi lalu harus melakukan apa untuk kemudian memperbaikinya.

Teman menambahkan mengenai pemakaian kata ‘jangan’ akan dituruti oleh sang anak jika disesuaikan dengan intonasi yang tepat. Misal orangtua mengatakan ‘jangan main disana, ada listrik’. Intonasi lembut pada kata ‘jangan’ dan kuat pada kata ‘disana’ akan membuat sang anak justru menangkap ‘main disana ada listrik’. Bahaya juga ya ternyata kalau salah intonasi mengakibatkan hal seperti ini hehe. Maksudnya kata ‘jangan’ perlu mendapat intonasi yang kuat. Dari sini diketahui bahwa intonasi juga memiliki peran sehingga kemudian anak dapat menangkap nasehat atau peringatan dari orangtua.

Pemakaian kata ‘jangan’ pada anak-anak, menurut hemat kata; menyampaikan sesuatu dengan kalimat positif itu baik. Namun, ketika menasehati atau memperingatkan kemudian tidak boleh menggunakan kata ‘jangan’ yang kurang tepat, karena kata ‘jangan’ justru mempertegas batasan tanpa abu-abu. Dimana pemakaian kata ‘jangan’ juga harus diiringi dengan penjelasan ke anak, tidak serta merta mengatakan ‘jangan masuk ruangan itu’, ‘jangan tidur terlalu malam’. Penggunaan intonasi yang tepat pada kata juga mempengaruhi pemahaman anak.

Beberapa hari lalu saya mendapat forward pesan dari teman mengenai pemakaian kata ‘jangan’. Pemakaian kata ‘jangan’ (ternyata) tidak jarang membuat orang berselisih paham, terutama bila diaplikasikan pada anak-anak. Berselisih baik mengenai asal muasal penerapan ‘dont say dont’ dan tingkatan umur kapan anak bisa dinasehati atau diperingatkan dengan memakai kata ‘jangan’. Menurut saya pesan berikut menjelaskan dengan sangat baik mengenai itu semua. Tanpa mengubah kata-kata yang terdapat dalam pesan, berikut saya cantumkan pembahasan tentang pemakian kata ‘jangan’. Selamat menikmati, memahami dan semoga bermanfaat. Eniwei, saya terkikik di poin 43 :p Jangan ada keributan gara-Gara Kata “Jangan”

by : bendri jaisyurrahman (twitter : @ajobendri)

  1. Beberapa hari ini banyak yg tanya saya (lebih tepatnya ajak diskusi) seputar kata “jangan” dalam ilmu parenting dan Alquran
  2. Sebagian ada yg mengatakan kata “jangan” sebaiknya dihindarkan diganti kata anjuran. Ini ajaran parenting
  3. Sebagian yg lain justru mempertentangkan dgn berdalih bahwa alquran justru banyak memuat kata jangan. Apakah quran salah?
  4. Ujung-ujungnya saling melabel. Seolah-olah ilmu parenting yg menolak kata “jangan” dianggap tidak islami, pro yahudi, dsb.
  5. Nah, ini yg saya khawatirkan. Pertentangan yg berujung kepada labeling. Jangan-jangan ini disengaja. Eh kok pake kata “jangan”? 😀
  6. Bukannya sok bijak. Sebab orang sok bijak sok bayak pajak hehe.. Tapi bersikap ekstrim meskipun baik tidak sesuai sunnah nabi.
  7. Hakikatnya, islam ini agama pertengahan (ad diinul wasath). Maka tindakan menyalahkan ilmu yg bersumber dari barat tanpa dicari akarnya juga tak tepat
  8. Seolah-olah kalau parenting itu dari barat jelas-jelas salah. Langsung tertolak. Padahal kita sering makan dari barat semisal rendang dari sumatera barat #eh 😀
  9. Ilmu parenting pada dasarnya bagian dari ilmu “keduniawian” dimana rasul mengatakan “kalian lebih tau urusan dunia kalian”. Artinya silahkan inovasi1
  10. Tentu bukan berarti islam tak punya konsep dasar. Sama seperti ilmu kedokteran, parenting juga punya dasar ilmunya
  11. Tapi Islam tak menolak inovasi dalam bidang kedokteran sebab berprinsip “hukum asal muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yg melarang”
  12. Maka, inovasi dalam kedokteran semisal operasi jantung, kemotherapi, dan cesar itu boleh kecuali yg jelas ada larangannya.
  13. Sama juga dgn ilmu parenting. Muncul banyak inovasi yg tak semuanya kita tolak kecuali dgn dalil yg tegas.
  14. Mengenai kata “jangan” itu sendiri tak perlu kita cari dalih. Hal ini memang ada dalam alquran. So what?
  15. Tentu sesuatu yg berada dlm alquran tak boleh diragukan. Ini wilayah iman (QS 2:2)
  16. Namun, sesuatu yg ada dalam alquran tentu harus dilihat prakteknya dalam keseharian nabi. Sebab beliau sejatinya ‘penerjemah’ terbaik maksud dari alquran
  17. Jika hanya berdasarkan quran tanpa lihat praktek nabi, hati-hati bisa terkecoh. Bisa-bisa malah aneh.
  18. Sholat, contohnya. Dalam quran perintahnya hanya rukuk dan sujud (qs 48 : 29). Jika tanpa melihat rasul, maka kita akan anggap sesat orang yg iktidal atau duduk tahiyat
  19. Begitu juga penggunaan kata “jangan” dalam quran. Kita harus dudukkan dalam konteks ilmu parenting yg dicontohkan Rasul
  20. Itu artinya, mari kita tengok sejarah bagaimana sikap rasul kepada anak-anak? Dan kita akan dapati beberapa perlakuan yg “beda”
  21. Sesuatu yg dilarang kepada orang dewasa ternyata dimaklumi bahkan dibolehkan kepada anak-anak
  22. Jika orang dewasa dilarang main patung atau boneka, ternyata anak-anak boleh. Aisyah contohnya
  23. Jika orang dewasa dilarang ngobrol atau bercanda dalam sholat. Maka khusus anak-anak semisal husein, main di punggung rasul bahkan dibiarkan
  24. Bayangkan, kalau yg main di punggung itu Umar. Mungkin sudah rasul marahin
  25. Bahkan ada seorang anak yg pipis di baju rasul, dibiarkan. Tak dilarang. Kalau itu sahabat? Mungkin udah dikeroyok sama yg lain
  26. Karena itu, melihat penggunaan kata “jangan” dalam alquran tak boleh sembarangan. Ada patokan dan standarnya
  27. Untuk anak kecil yg belum baligh tentu beda perlakuannya dengan orang dewasa
  28. Bahkan sesama orang dewasa saja masih ada perlakuan yg beda. Contohnya orang badui yg pipis di masjid nabawi dibiarkan, tak dilarang
  29. Kenapa? Karena orang badui itu tak tahu alias bodoh. Inilah hebatnya rasul. Bersikap berdasarkan konteks kejadian
  30. Jadi ayat tak dikeluarkan serampangan. Indah betul Islam ini jadinya
  31. Karena itu, sebagai panduan penggunaan kata jangan ada beberapa pembahasan yg lumayan panjang. Salah satu yg mau saya bahas disini yakni konteks usia
  32. Minimal ada 3 konteks usia penggunaan kata jangan sesuai sikap nabi : utk anak yg belum berakal, untuk anak yg sudah berakal dan utk remaja atau dewasa
  33. Untuk remaja atau dewasa rasul tak ragu untuk memberikan kata jangan jika memang membahayakan agama orang ini. Biasanya terkait akidah dan akhlak. Disini quran lebih banyak utk mereka
  34. Sementara utk anak, rasul sikapnya beda.Rasul bedakan yg sudah berakal mana yg belum.
  35. Caranya sesuai petunjuk rasul dlm urusan perintah sholat yaitu “jika sudah bisa bedakan kanan dan kiri”. Itu artinya sudah diajak berpikir
  36. Nah, untuk anak tipe ini (bisa bedakan kanan dan kiri) kata larangan atau “jangan” dibolehkan.
  37. Tapi lebih elok jika ditambah solusinya agar mereka tau apa yg harus dilakukan. Ingat mereka minim pengalaman
  38. Hal ini dialami oleh Rafi’ bin Amr Al Ghifari yg punya hobi melempar kurma. Rasul melarangnya namun kasih solusi.
  39. Solusinya adalah kalau mau makan kurma, yg jatuh di tanah, tak perlu dilempar. Indah kan?
  40. Sementara untuk anak yg belum bisa berpikir, rasul tak melarang. Lebih banyak memberi tahu sikap yg tepat. Bahkan cenderung membiarkan
  41. Yang dibiarkan rasul juga biasanya terkait dgn hal-hal yg berkaitan dgn eksplorasi skill.
  42. Rasul bahkan memotivasi anak yg lagi main panah di mesjid dgn ucapan “teruslah memanah. Sesungguhnya kakek moyangmu ismail seorang pemanah”
  43. Kalau anak sekarang main panah di masjid? Udah jadi rempeyek dihujat jamaah hehe
  44. Makanya, yg kedua yg harus dipahami selain konteks objeknya juga konteks apa yg dilarang
  45. Jika untuk eksplorasi skill hindari kata jangan. Agar anak termotivasi kembangkan potensi. Tapi untuk eksplorasi spiritual dan emosi silahkan pakai “jangan” dgn penjelasan
  46. Contoh penjelasan dlm quran “jangan ikuti langkah syetan, syetan itu musuh nyata bagimu”
  47. Lebih elok jika larangan ada penjelasan. Tentu ini pas bagi anak yg sudah berpikir.
  48. Kesimpulannya, gak perlu bersikap ekstrim. Parenting meski dari barat bisa jadi adalah hikmah kaum muslimin yg tercecer
  49. So, buanglah sampah pada tempatnya ups..maksudnya pakailah kata jangan pada konteksnya.
  50. Sekarang, silahkan cicipi jangan nya (alias sayur) 😀 Salam – bendri jaisyurrahman-

Semoga bermanfaat bagi para (calon) ayah dan ibu 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.